Potensi Resesi AS Investor Cendrung Alihkan Dana, Termasuk Ke RI

Nasional342 Dilihat

JAKARTA NEWS – JAM 16.00 WIB

Bank Indonesia (BI) memprediksi aliran modal masuk (capital inflow) ke RI akan membaik seiring dengan perlambatan ekonomi AS. Pasalnya, ekonomi AS yang tidak menunjukkan perbaikan tahun ini akan membuat investor khawatir akan imbal hasil, sehingga investor cenderung mengalihkan dananya ke negara berkembang, termasuk Indonesia.

Deputi Senior Gubernur BI Mirza Adityaswara mengatakan derasnya arus modal tentu akan memperbaiki neraca transaksi modal dan finansial. Sehingga, kenaikan di akun ini bisa mengompensasi neraca transaksi berjalan yang tahun ini diprediksi masih defisit, setidaknya 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Sekadar informasi, neraca modal dan finansial dan neraca transaksi berjalan ialah komponen dari neraca pembayaran. Sehingga, jika salah satu mengalami perbaikan, dengan asumsi hal lain dianggap tetap, itu juga akan memperbaiki neraca pembayaran.

“Ini akan membantu pendanaan ke arus modal masuk yang lebih banyak ke emerging market, pendanaan untuk defisit transaksi berjalan bisa lebih baik,” jelas Mirza, Rabu (27/3).

Ia menuturkan kondisi perekonomian AS adalah salah satu faktor eksternal yang diperhatikan BI. Sebab, inilah hal yang membuat stabilitas arus modal Indonesia kelabakan pada tahun lalu.

Pada 2018 lalu, bank sentral AS The Fed menaikkan suku bunga acuan Fed Rate sebanyak empat kali seiring optimisme perekonomian negara Paman Sam tersebut. Kenaikan suku bunga berimbas pada kenaikan imbal hasil instrumen investasi AS, sehingga itu lebih menarik dibanding Indonesia.

Walhasil, arus modal keluar dari Indonesia, nilai tukar rupiah tembus hingga Rp15 ribu, dan BI akhirnya merespons dengan kenaikan suku bunga acuan enam kali.

Pada tahun ini, BI merasa lebih tenang karena ekonomi AS yang diprediksi melemah bikin The Fed kemungkinan tak akan menaikkan suku bunganya lagi. Kalau pun ada, kenaikan itu mungkin hanya sekali saja.

“Sekarang itu fokus (pelaku pasar dan analis) bukan kapan suku bunga AS akan naik, tapi cenderung kapan AS menurunkan suku bunga acuannya,” imbuh dia.

Meski demikian, BI masih merasa belum lega. Sebab, ancaman lain datang dari pertumbuhan ekonomi China yang diprediksi mentok di 6,3 persen setelah tahun lalu mencatat 6,4 persen. Jika ekonomi China melemah, maka permintaan ekspor asal Indonesia juga akan berkurang, sehingga kinerja ekspor Indonesia ke China bisa ikut menyusut.

Ini akan mempengaruhi neraca perdagangan, apalagi China merupakan mitra dagang utama Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2018 menunjukkan, 13,52 persen ekspor Indonesia sepanjang 2019 meluncur ke negara tirai bambu tersebut.

Jika neraca perdagangan tertekan, maka itu juga akan berdampak ke neraca transaksi berjalan, mengingat komponen transaksi berjalan terdiri dari neraca perdagangan, neraca jasa, pendapatan primer, dan pendapatan sekunder.

“Jadi memang, kalau 2019 Indonesia masih menghadapi ekonomi China yang belum recover. Harga komoditas juga akan menjadi tantangan karena 25 persen ekspor Indonesia ke China berupa komoditas pertambangan. Selain itu, neraca pembayaran Indonesia juga sangat sensitif dengan kondisi China,” terangnya.

BI mencatat neraca pembayaran 2018 mengalami defisit US$7,13 miliar, yang terdiri atas transaksi berjalan yang defisit US$31,06 miliar dan neraca modal dan finansial yang surplus US$25,21. Kemudian, perhitungan itu disesuaikan dengan selisih perhitungan bersih sebesar negatif US$1,27 miliar. (Cnn/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *