KPK Bersama BPK Perkuat Kerjasama Maksimalkan Pegembalian Kerugian Negara

Jakarta News – Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menandatangani kesepakatan dengan Badan Pemeriksa Keuangan terkait tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan terhadap potensi kerugian keuangan negara. Kerja sama itu juga untuk menguatkan pencegahan tindak pidana korupsi agar akuntabilitas pengelolaan keuangan negara meningkat.

Pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi selama ini belum maksimal. Data Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menunjukkan, kerugian keuangan negara di Indonesia akibat korupsi terhitung dari 2001-2015 sebesar Rp 203,9 triliun. Namun, hukuman finansial hanya Rp 21,26 triliun atau sekitar 10 persen yang diputus dalam pengadilan.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna, Selasa (7/1/2020), mengatakan, penandatanganan kesepakatan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan pembaruan atas nota kesepahaman yang sama pada 2006. Dengan begitu, kesepakatan BPK dengan KPK Nomor 01/KB/I-VIII.3/09/2006 dan Nomor 22/KPK-BPK/IX/2006 tentang Kerja Sama dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Nota kesepahaman itu merupakan babak baru hubungan antara BPK dan KPK. Baik KPK maupun BPK sama-sama tahu ada hubungan pasang surut di antara kedua lembaga.

”Namun, tadi kami sudah memulai hal yang baru, kami akan bersinergi, punya frekuensi dan komitmen yang sama untuk bersama-sama membuat negara ini bebas dari korupsi,” ujar Agung di Jakarta.

Penandatanganan nota kesepahaman itu dilakukan Agung bersama Ketua KPK Firli Bahuri di Kantor Pusat BPK, Jakarta Pusat. Acara itu juga dihadiri anggota BPK dan empat pimpinan KPK lain, yakni Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, dan Lili Pintauli Siregar.

Kesepakatan bersama ini meliputi tindak lanjut penegakan hukum terhadap hasil pemeriksaan BPK yang berindikasi kerugian negara dan unsur pidana kepada KPK. Ada juga tindak lanjut terhadap permintaan KPK kepada BPK untuk menghitung kerugian negara, pencegahan tindak pidana korupsi, pertukaran informasi, dan koordinasi.

Firli menambahkan, dalam kesepakatan ini juga akan ada pembantuan tenaga ahli dari BPK, khususnya terkait sumber daya manusia (SDM) yang kompeten di bidang audit. Dalam hal ini, KPK dapat meminta bantuan BPK untuk menunjuk ahli guna didengar keterangannya tentang hal-hal terkait dengan hasil pemeriksaan BPK.

Permintaan penunjukan ahli dilakukan secara tertulis. Selanjutnya BPK akan mengirimkan tenaga ahli untuk memberikan keterangan dalam pengadilan.

”Kami akan segera melakukan pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan SDM KPK, khususnya itu terkait dengan kemampuan audit,” ucap Firli.

Mantan Pimpinan KPK periode 2015-2019 Saut Situmorang mengemukakan, jumlah auditor di KPK masih di bawah seratus orang atau kurang dari lima persen total pegawai KPK. Padahal, kebutuhan auditor berdasarkan dari pengaduan masyarakat dan perkembangan kapasitas kasus di penindakan, diperlukan setidaknya seratus auditor.

”Sebaiknya perekrutan bagi auditor KPK dilakukan secara bertahap melalui program rekrutmen ’Indonesia Memanggil’ atau sumber lembaga audit lain. Misalnya dari BPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, termasuk badan-badan audit swasta,” ujar Saut.

Selain itu, dalam rekomendasi seminar “Komitmen Antikorupsi untuk Investasi yang Lebih Baik” pada 11 Desember 2019, KPK dan Transparency International Indonesia juga mendorong pemerintah dan regulator menyusun standar pelaporan perusahaan. Tujuannya adalah pencegahan dan penindakan korupsi di internal perusahaan.

Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan standar transparansi perusahaan melalui pendaftaran perusahaan terpusat dan transparansi beneficial ownership. Beneficial ownership menunjuk pada pemilik perusahaan yang sebenarnya yang berhak sepenuhnya menikmati secara langsung penghasilan-penghasilan perusahaan.

Transparansi organisasi atau entitas perusahaan memberi peluang bagi pemerintah, media, dan masyarakat sipil untuk mengetahui perpindahan aliran keuangan antar perusahaan lintas yurisdiksi untuk mendeteksi aliran uang haram atau illicit enrichment. Perusahaan juga diwajibkan memublikasikan laporan antarnegara mengevaluasi kepatuhan pajak bagi perusahaan multinasional yang berasal dari Indonesia. (int)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *