Geruduk Kantor PT TBS, Warga Minta Air Sisa Proses Pabrik Tidak Dibuang ke Sungai Sibabangun

TAPTENG NEWS – JAM 09.00 WIB

Didampingi Anggota DPRD Tapteng, Madayansyah Tambunan M.Pd, puluhan perwakikan masyarakat Kelurahan Sibabangun, Kecamatan Sibabangun, Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), mendatangi kantor PT Tri Bahtera Srikandi (TBS), pengelola pabrik kelapa sawit yang beroperasi di Desa Anggoli, Kecamatan Sibabangun. Warga meminta PT TBS tidak membuang air sisa proses ke sungai Sibabangun.

Pasalnya, air sisa proses pabrik diduga menjadi penyebab sungai Sibabangun keruh dan berlumpur. Tercemarnya sungai membuat warga tidak lagi bisa memanfaatkan untuk aktivitas mandi, cuci, kakus (MCK). Kepada pihak PT TBS, mereka meminta agar pembuangan air sisa proses ke sungai Sibabangun dihentikan.

Usai menyampaikan aspirasi. Kepada pihak PT TBS, salah seorang perwakilan warga, Ambat Parsaulian Hutagalung, kepada awak media mengungkapkan, kondisi sungai Sibabangun yang saat ini tercemar. Warga yang selama ini mengandalkan sungai Sibabangun untuk mandi, mencuci pakaian dan peralatan dapur, sudah tidak lagi bisa memanfaatkannya. Setiap hari sungai berlumpur dan keruh kecoklat-coklatan.

Yang lebih ironisnya sambung Ambat, kondisi sungai yang tercemar berdampak terhadap budidaya ikan yang selama ini menjadi kearifan lokal warga sekitar melalui pola privatisasi tradisional lubuk larangan. Tidak jarang, berbagai jenis ikan mati yang diduga akibat air sisa proses yang dialurkan ke sungai Sibabangun oleh pihak PT TBS. Perkembangan budi daya ikan juga tersendat. Ikan mati dan telur-telur banyak yang tidak jadi.

“Ada beberapa poin yang kita sampaikan, termasuk pemberhentian penyaluran air sisa proses ke sungai Sibabangun,” kata Ambat, usai menyampaikan aspirasi ke pihak PT TBS, Selasa (14/9/2021).

Agar masyarakat tidak terkendala saat beraktivitas, dan tujuan menjadikan sungai Sibabangun menjadi Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dapat tercapai, pria yang juga merupakan pengurus salah satu kelompok lubuk larangan di Kelurahan Sibabangun ini meminta agar PT TBS tidak mengabaikan permintaan warga.

“Kita berharap mereka tidak mengabaikannya. Jika mereka tidak menghargai, kita juga tidak akan menghargai mereka,” tegas Ambat.

Sementara itu, Anggota DPRD Tapteng, Mahdayansyah Tambunan, yang ikut mendampingi warga menyebutkan, akibat tercemarnya sungai Sibabangun, perkembangan budi daya ikan menjadi terkendala. Banyak ikan yang mati serta telur-telur yang tidak jadi.  Kondisi ini diduga diakibatkan pembuangan air sisa proses pabrik yang beroperasi di hulu sungai. Air sisa proses disinyalir tidak memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan.

Tudingan ini bukan tanpa alasan. Menurut Madayansyah,  PT TBS tidak pernah melakukan evaluasi dan pemantauan kualitas air sisa proses melalui pengambilan sampel air lewat tim terpadu. Padahal sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.68/MENLHK/Setjen/Kum.1/8/2016 tentang Baku Mutu Air Domestik, tim terpadu dengan melibatkan masyarakat sekitar harus melakukan pemantauan kualitas air sisa proses setiap 6 bulan sekali.

“Kita tidak pernah tau itu, karena tidak pernah disosialisasikan dan didiseminasikan kepada masyarakat terdampak,” ungkapnya.

Masih kata Mahdayansyah, selama dua tahun lebih beroperasi, diduga banyak peraturan yang ditabrak pihak PT TBS, termasuk pengadaan dokumen Amdal dan UKL-UPL. Ia menegaskan, dokumen yang menjadi persyaratan untuk mengantongi  izin lingkungan sekaligus izin usaha milik PT TBS tersebut perlu untuk dipertanyakan.

Dipaparkan, sebagaimana amanat PP Nomor 27 Tahun 2012 Pasal 9 ayat 1 mengamanatkan, penyusunan dokumen Amdal, pemrakarsa mengikutsertakan masyarakat yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal. Namun kenyataannya, jangankan mengikutsertaan masyarakat Sibabangun, penyusunan dokumen kerangka acuan, pengumuman rencana usaha dan kegiatan tidak pernah dilibatkan.

“Sebagai masyarakat terdampak, kita berhak mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap rencana usaha dan kegiatannya. Mereka seharusnya menghormati hak-hak semua pihak untuk mendapatkan informasi yang transparansif dalam keseluruhan proses amdal dari rencana usaha dan kegiatan. Namun kenyataannya, tanpa ada proses sosialisasi, pabrik pengolah tandan buah segar berdiri. Ini aneh tidak,” papar Dzulfadli dengan sedikit nada heran.

Mantan Dosen Sekolah Tinggi Prakarti Mulya Negeri Bertuah Pekanbaru ini menilai, banyaknya hal yang aneh terendus dari perusahan tersebut, mulai dari rencana pendirian pabrik kelapa sawit yang tidak pernah diumumkan kapada masyarakat, hingga pengabaian hak-hak masyarakat terdampak. Dua tahun setelah beroperasi, kontribusi PT TBS dalam pertanggungjawaban sosial (CSR) juga tidak terlihat sama sekali. Jikapun ada, program CSR yang disalurkan hanya memberikan manfaat bagi masyarakat tidak terdampak.

“Sudah dua tahun lebih sejak beroperasi, PT TBS tidak pernah memperhatikan masyarakat Sibabangun yang notabenenya merupakan wilayah terdampak,” kesalnya.

Menutup pembicaraanya, politikus yang pernah di gembleng di lembah gunung Sorik Marapi, mengingatkan agar pihak perusahaan menghargai hak-hak masyarakat terdampak. Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tidak hanya sekadar menyangkut pengembangan komunitas ataupun sekadar kegiatan sosial. Pengertian CSR jauh lebih luas seperti, mengangkat dan memperlakukan karyawan dengan baik dan tidak diskriminatif.

“Ingat, keberhasilan perusahaan tergantung pada keseimbangan antara perusahaan dengan warga dan lingkungan sekitar,” tutupnya dengan nada diplomatis.

Sementara pihak PT.TBS sejauh ini belum dapat berkomentar banyak soal warga meminta tidak membuang air sisa proses ke sungai Sibabangun.

“Nanti kami rapatkan dulu bersama pimpinan,” pungkas staf bermarga Sinaga saat menerima aspirasi warga Sibabangun. (ben)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *