Komunitas Hutan Mangrove di Pantai Pandaratan Kota Sibolga

Daerah, Sibolga2339 Dilihat

SIBOLGA NEWS – JAM 11.00 WIB

Hutan mangrove merupakan hutan tumbuhan tingkat tinggi yang beradaptasi dengan sangat baik di wilayah intertidal maupun pada wilayah dengan tinggi permukaan pasang surut rata-rata sampai pada wilayah dengan pasang tertinggi (Alongi, 2009).

Rahmad Hidayat Panggabean (SEP) Mahasiswa Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli

Komunitas tumbuhan mangrove tumbuh baik pada wilayah tropis dan mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan yang ekstrem, seperti suhu tinggi, salinitas tinggi, pasang surut ekstrem, sedimentasi tinggi, serta kondisi substrat tumbuh yang miskin oksigen dan atau tanpa oksigen.

Sayu Natio Tarihoran (AKU) Mahasiswi Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli

Indonesia memiliki luas mangrove yang paling tinggi, yaitu 3,112,989 ha atau 22.6% total luas mangrove dunia bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Australia (7.1%) dan Brazil (7.0%) (Giri et al., 2011).

Adi Gunawan Pasaribu (SEP) Mahasiswa Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli

Namun sangat disayangkan yang lebih dari 30% luasan mangrove di Indonesia telah hilang dalam kurun waktu tahun 1980-2005 (FAO, 2007). Degradasi hutan mangrove di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu alih fungsi hutan mangrove menjadi berbagai kegiatan pembangunan, antara lain sebagai daerah pertumbuhan pemukiman, bangunan dermaga dan talud; sebagai areal pertanian dan perkebunan; serta untuk kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi.

Josua Romauli Pandiangan (TPI) Mahasiswa Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli

Myers & Patz (2009) menyatakan kebutuhan dan ketergantungan akan sumber daya alam di kawasan pesisir yang semakin tinggi menjadi tekanan untuk kelestarian ekosistem pesisir. Pada ekosistem mangrove yang berada di lingkungan pesisir dikenal jenis-jenis tumbuhan yang dinamakan dengan mangrove sejati (mayor dan minor) dan mangrove ikutan.

Tasya Amanda (AKU) Mahasiswi Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli

Mangrove sejati Utama (mayor) adalah tumbuhan yang tumbuh pada pasang surut dan membentuk tegakan murni dan jarang bergabung dengan tanaman darat, Mangrove sejati minor (tambahan) adalah bukan komponen penting dari mangrove biasanya di daerah tepi dan jarang membentuk tegakan, sedangkan Mangrove Ikutan adalah tumbuhan yang tidak pernah tumbuh di komunitas mangrove sejati dan biasanya tumbuh bergabung dengan tumbuhan daratan.

Nizwanda Alfrianja Saragih (TPI) Mahasiswa Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli

Pengenalan sederhana untuk dapat mengenal jenis-jenis mangrove sejati untuk tujuan rehabilitasi adalah difokuskan kepada jenis-jenis yang membentuk tegakan murni (Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Padang, 2020). Adapun tegakan murni yang berada di ekosistem hutan mangrove adalah : (1) Avicennia.

Avicennia di Indonesia dikenal dengan nama api-api, dimana dicirikan dengan perakaran yang berbentuk pinsil meonjol dari permukaan air yang berfungsi sebagai akar nafas dan dibedakan dari Bruguiera dari bentuk bunga, buah dan daun. Di Indonesia dikenal 5 (lima) jenis api-api, yaitu A. alba, A. eucalyptifolia, A. lanata, A. marina, dan A. officinalis. (2) Bruguiera. Tanaman Bruguiera dicirikan dengan akar lutut atau papan/banir. Di Indonesia dikenal 6 (enam) jenis tanaman ini, yaitu B. cylindryca, B. exaristata, B. gymnorrhiza, B. haenessii, B. parviflora, dan B. sexangula. (3) Ceriops. Ceriops merupakan vegetasi mangrove yang dicirikan dengan akar pensil dengan buah memanjang, dimana di Indonesia sering dijumpai 2 (dua) jenis yaitu C. decandra dan C. tagal.  (4) Rhizophora. Jenis ini sangat dicirikan dengan bentuk perakaran yang menghunjam ke tanah atau dikenal dengan akar tunjang (still root). Sering dijumpai 3 (tiga) jenis dari Rhizophora di ekosistem mangrove di Indonesia, yaitu R. apiculata, R. mucronata, dan R. stylosa.  Untuk membedakan jenis jenis dalam genus Rhizophora jika sedang berbuah dapat dengan mudah dikenali dari jumlah bunga dalam rangkaian bunganya.

Lokasi pengambilan sampel hutan mangrove (bakau) di pantai pandaratan, kota Sibolga

Jika dalam rangkaian bunga terdapat hanya 2 bunga maka dapat dipastikan merupakan jenis R. apiculata, sedangkan jika dalam rangkaian bunga dijumpai 4-8 bunga jenis R. mucronata, sedangkan jika dalam rangkaian bunga dijumpai 9-16 bunga maka dari jenis R. stylosa. (5) Sonneratia. Sonneratia dikenal umum dengan nama pedada dengan sistem perakaran umumnya berbentuk pinsil (pneumatophora)dan dibedakan dari Avicennia dari bentuk bunga, buah dan bentuk daun. Di Indonesia umum dijumpai 3 (tiga) jenis, yaitu S. alba, S. caseolaris, dan S. Ovata (Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Padang, 2020).

Tumbuhan mangrove ikutan terdiri atas pohon, epifit, liana, alga, bakteri dan fungi. Menurut Hutching and Saenger (1987), di seluruh dunia terdapat lebih dari 20 suku Tumbuhan mangrove, yang terdiri dari 30 marga, dengan anggota lebih dari 80 jenis.

Sejauh ini di Indonesia tercatat ada 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis liana, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku (Kusmana, 1993). Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis merupakan jenis mangrove sejati (true mangrove) dan selebihnya merupakan jenis mangrove asosiasi (associate mangrove).  Dari 43 jenis mangrove sejati tersebut 33 jenis diantaranya merupakan jenis  berhabitus pohon atau semak yang besar maupun yang kecil (Gufronas, 2011).

Komunitas Hutan Mangrove di Pantai Pandaratan, kota Sibolga

Kondisi kesehatan ekosistem mangrove secara keseluruhan, dapat mempengaruhi kondisi dua ekosistem lainnya di kawasan pesisir, yaitu lamun dan terumbu karang. Secara fisik, sistem perakaran mangrove yang khas memberikan perlindungan bagi lamun dan terumbu karang dari bahaya sedimentasi. Akar mangrove berfungsi menyaring materi-materi berukuran besar yang terbawa oleh aliran sungai dan masuk ke laut. Upaya ini mencegah perairan menjadi keruh sehingga tidak terjadi penumpukan dan penimbunan pada permukaan lamun dan karang.

Pengambilan sampel hutan mangrove di Pantai Pandaratan, kota Sibolga

Secara ekologi, hutan mangrove merupakan sebuah habitat bagi pertumbuhan biota-biota karang pada fase tertentu kehidupannya. Pada saat ekosistem mangrove terjaga, maka semakin banyak pilihan bagi masyarakat pesisir dalam memenuhi kebutuhan ekonomi pada suatu area. Namun ketika mangrove sudah rusak, maka tekanan antropogenik akan semakin tinggi dirasakan oleh ekosistem terumbu karang. Untuk itu, diperlukan sebuah upaya pengelolaan yang mencakup didalamnya usaha pemantauan ekologi terhadap kondisi komunitas mangrove di suatu kawasan terutama di lingkungan pesisir.

Pengambilan sampel hutan mangrove di Pantai Pandaratan, kota Sibolga

Lingkungan pesisir di Kota Sibolga terdiri atas berbagai macam ekosistem. Salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove (bakau) yang tersusun dari berbagai komunitasnya yang terletak di Pantai Pandaratan (Gambar 1). Komunitas hutan mangrove yang terletak di Pantai Pandaratan tersusun atas jenis mangrove Rhizopora mucronata (Perawakan: pohon tinggi dapat mencapai 20m, kulit batang kasar, berwarna abu-abu, kehitaman, Daun: bentuk elip sampai bulat panjang, ukuran 10-16cm, ujung meruncing dengan duri (mucronatus), permukaan bawah tulang daun berwarna kehijauan, berbintik-bintik hitam tidak merata, Karangan bunga: tersusun atas 4-8 bunga tunggal, kelopak 4, warna kuning gading, mahkota 4, berambut pada bagian pinggir dan belakang, benang sari 8, tangkai putik panjang 1-2 mm dengan ujung berbelah dua, Buah: bentuk mirip jambu air, ukuran 2-2,3cm, warna hijau kekuningan, hipokotil silindris berdiameter 2-2,5cm, panjang dapat mencapai 90 cm dengan permukaan berbintik-bintik, warna hijau kekuningan, Akar: tunjang, Habitat: tanah berlumpur dalam dan sedikit berpasir), Avicennia officinalis (Rhizophora apiculata, dan Rhizophora  stylosaI (Perawakan: pohon, tinggi dapat mencapai 15m, permukaan batang berwarna abu-abu kehitaman, bercelah halus, Daun: permukaan atas halus, mengkilap, ujung meruncing, dengan duri, bentuk lonjong dengan lebar bagian tengah, ukuran panjang 8-12 cm, permukaan bawah tulang daun berwarna kehijauan, berbintik-bintik hitam tidak merata, Karangan bunga: terletak di ketiak daun, bercabang 2-3 kali, masing-masing cabang 4-16 bunga tunggal, kelopak 4, berwarna kuning gading, mahkota 4 (stilus), panjang 0,4-0,6cm, Buah: mirip bentuk jambu air, warna coklat, ukuran 1,5-2 cm, hipokotil berdiameter 2-2,5cm, permukaan halus, panjang dapat mencapai 30cm, Akar: tunjang, Habitat: tanah basah, sedikit berlumpur, berpasir.(Sudarmadji, 2004; Gambar 2).

Pengambilan sampel hutan mangrove di Pantai Pandaratan, kota Sibolga

Mangrove jenis ini merupakan salah satu jenis mangrove dari 157 jenis yang sering ditemukan di Pulau Sumatera (Gufronas, 2011). Mangrove pada pengamatan di Pantai Pandaratan dikumpulkan dengan menggunakan metoda transek yang terbuat dari tali rafia dengan ukuran 1m x 1m dan kemudian serasahnya (jatuhan daun, bunga, buah) diamati lebih lanjut di Laboratorium  Biologi Perikanan Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli pada tanggal 14 Maret 2020 (Gambar 3). Hasil pengamatan dan pengambilan sampel menunjukkan bahwa komunitas hutan mangrove yang berada di Pantai Pandaratan, Kota Sibolga masih dalam keadaan tutupan yang baik, namun harus dilakukan langkah-langkah selanjutnya untuk mencegah adanya kerusakan lebih lanjut dikarenakan sangat dekat dengan lokasi aktivitas manusia dan sumber bahan pencemar karena sangat berpengaruh kepada kondisi kesehatan ekosistem mangrove.

Pengambilan sampel hutan mangrove di Pantai Pandaratan, kota Sibolga oleh Mahasiswa/i STPK Matauli bersama Dosen Pembimbing Tengku Muhammad Ghazali, S.Pi, M.Si

Penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove dapat mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat pesisir, seperti penurunan hasil tangkapan ikan dan berkurangnya pendapatan nelayan (Mumby et al., 2004). Selain itu, juga dapat merusak keseimbangan ekosistem dan habitat serta kepunahan spesies ikan, dan biota laut yang hidup di dalamnya, serta abrasi pantai (Polidoro et al., 2010). Degradasi mangrove diperparah dengan tidak tegasnya penegakan hukum di Indonesia (Kathiresan & Bingham, 2001).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *